Grosir Kaos Levis Murah Di Surakarta Harga kapas acuan dunia berhasil melesat hingga level tertingginya dalam satu dekade terakhir, karena beberapa faktor yang mempengaruhinya. Kapas adalah salah satu bahan baku utama pembuatan kain dalam industri tekstil di Indonesia.
Harga kapas saat ini mencapai US$ 1,16/pon atau sekitar Rp 16.530/pon (asumsi kurs Rp 14.250/US$).
Pada pekan lalu, harga kapas dunia telah melesat lebih dari 6%, sedangkan sepanjang tahun ini (year-to-date/YTD), harga kapas sudah meroket hingga 47%.
Melonjaknya harga kapas acuan dunia dikarenakan meningkatnya permintaan tekstil setelah adanya pemulihan ekonomi pasca dilanda krisis akibat pandemi virus corona (Covid-19).
Di lain sisi, India sebagai pengekspor utama kapas dunia malah membatasi pengiriman ekspornya untuk membantu memajukan kembali mitra domestiknya.
Baca:Gawat Krisis Inggris Makin Ngeri, Industri Mau Bangkrut
Chief Executive Levi Strauss Chip (Levis), Bergh mengatakan bahwa harga kapas saat ini merupakan yang tertinggi dalam satu dekade atau sepuluh tahun terakhir, di mana harga tertinggi sebelumnya terjadi pada 7 Juli 2011 silam.
Pada tahun 2011, kami membutuhkan banyak sekali doa, kata Bergh kepada investor dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Levis Rabu (6/10/2021) lalu, dikutip dari CNBC International, Senin ini (11/10).
Kenaikan harga kapas juga didorong oleh beberapa faktor. Pada Desember tahun lalu, pemerintahan Donald Trump (masih menjadi Presiden AS) memblokir perusahaan-perusahaan di AS dari aktivitas impor kapas dan produk turunannya yang berasal dari wilayah Xinjiang Barat China karena khawatir diproduksi menggunakan kerja paksa oleh kelompok etnis Uyghur.
Putusan tersebut nyatanya masih berlaku hingga saat ini atau di masa pemerintahan AS di bawah Presiden Joe Biden.
Namun, pemerintahan Biden kini telah memaksa perusahaan-perusahaan China untuk membeli kapas dari AS, memproduksi barang-barang dengan kapas tersebut di China, dan kemudian menjualnya kembali ke AS.
Di lain sisi, cuaca ekstrem termasuk kekeringan dan gelombang panas yang telah memusnahkan tanaman kapas di seluruh AS, yang merupakan pengekspor komoditas terbesar di dunia juga turut mempengaruhi pergerakan harga kapas.
Kekuatan Harga Pasar
Dinamika dari kebijakan pembatasan tersebut telah membuat saham HanesBrands, produsen pakaian yang terkenal dengan pakaian dalam dan kaos katunnya tertekan.
Secara historis, saham HanesBrands jatuh karena harga kapas naik. Sahamnya anjlok 7% selama sepekan terakhir. Pada Jumat pekan lalu, sahamnya turun 5% menjadi US$ 16,23.
Sementara itu menurut Michael Binetti, analis dari Credit Suisse mengatakan bahwa kenaikan harga kapas akan menyebabkan kemunduran pada saham ritel karena kenaikannya dinilai berlebihan.
Dia mengatakan bahwa hanya 2% dari harga pokok penjualan HanesBrands berasal dari pembelian kapas langsung, lebih tinggi 6% dari periode tahun 2012 silam.
Merespons kenaikan harga kapas pada 2011 silam, HanesBrands pun langsung menaikkan harga berbagai barang berbahan kapasnya hingga tiga kali lipatnya hingga tahun 2012.
Hal ini untuk mengimbangi inflasi. Nyatanya saat itu, keuntungan HanesBrands terus menyusut dari semua biaya yang dihadapinya. Namun pada akhirnya, perseroan berhasil mempertahankan sebagian dari kenaikan harga tersebut.
Kami pikir saham tersebut kurang menghargai dinamika paling kuat yang tidak dimiliki sektor ini dalam lebih dari satu dekade. Kekuatan harga yang sebenarnya, kata Binetti, dilansir dari CNBC International.
Peritel telah mencapai kekuatan penetapan harga dengan secara proaktif menghindari adanya diskon dan menghilangkan kelebihan persediaan.
Pandemi Covid-19 telah menjadi penutup bagi perusahaan untuk mempercepat pergeseran ini. Mandeknya rantai pasokan yang sedang berlangsung juga berperan dalam memperketat persediaan.
Baca:Gara-Gara Ini, Warga RI Harus Bersiap Harga Baju Bakal Mahal
Sementara itu menurut Robert Samuels, analis dari UBS mengatakan bahwa pengecer yang akan paling terdampak oleh kenaikan harga kapas adalah mereka yang berspesialisasi dalam denim, di mana kapas menyumbang lebih dari 90% bahan baku yang digunakan untuk membuat jeans dan pakaian denim lainnya.
Seolah-olah pengecer tidak memiliki cukup banyak hal untuk dikhawatirkan dengan kendala rantai pasokan dan kekurangan tenaga kerja, kata Samuels, diwartakan oleh CNBC International.
Namun, pihak Levis sudah berusaha meredakan ketakutan peritelnya tentang bisnis denimnya. Dalam RUPS, Levis mengatakan telah menegosiasikan sebagian besar biaya produknya hingga semester pertama tahun 2022, dengan inflasi satu digit yang sangat rendah.
Sementara di semester kedua tahun ini, pihaknya berharap adanya peningkatan, setidaknya satu digit. Levis juga mengatakan bahwa pihaknya berencana untuk mengimbangi kenaikan itu dengan tindakan penetapan harga yang sudah diambilnya.
Hal ini berhasil dilakukan karena Levis telah melakukan diversifikasi bisnisnya, dari sebelumnya didominasi oleh grosir, kini beralih ke basis campuran yang memiliki pangsa penjualan langsung ke konsumen.
Dengan permintaan konsumen yang kuat dan persediaan yang ketat, perusahaan dapat menjual lebih banyak produk dengan harga penuh.